Jumat, 25 November 2011

agama islam

Pendidikan Agama Islam

Berlomba-lomba dalam Kebaikan


Di dalam Al-Qur’an, baik atau kebaikan menggunakan kata ‘ihsan’, ‘birr’, dan ‘ishlah’. Kata ‘ihsan’ (‘ahsan’ dan ‘muhsin) bisa dilihat pada firman Allah:
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan dan mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya.” (QS 4: 125)

Bila dikaitkan dengan definisi ‘ihsan’ dalam hadits kedatangan Jibril kepada Nabi Muhammad SAW, maka ihsan adalah perbuatan baik yang dilakukan oleh seseorang karena merasakan kehadiran Allah dalam dirinya atau dia merasa diawasi oleh Allah SWT yang membuatnya tidak berani menyimpang dari segala ketentuan-Nya.
Sedangkan kata baik dalam arti ‘birr’ bisa dilihat pada firman Allah:
“Bukanlah sekedar menghadapkan wajahmu ke timur maupun ke barat yang disebut suatu kebaikan, tetapi sesungguhnya kebaikan itu ialah beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat, kitab dan nabi-nabi serta memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS 2: 177).

Bila kita kaji ayat-ayat tentang kata ‘al birr’, termasuk ayat di atas, maka akan didapat kesimpulan bahwa kebaikan itu – menurut Mahmud Syaltut dalam tafsirnya – dibagi menjadi tiga, yakni ‘birr’ dalam aqidah, ‘birr dalam amal dan ‘birr’ dalam akhlak.
Adapun kata baik dengan menggunakan kata ‘ishlah’ terdapat dalam banyak ayat, misalnya pada firman Allah:
“Tentang dunia dan akhirat. Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakanlah: mengurus urusan mereka secara patut adalah baik.” (QS 2: 220)

Istilah ‘ishlah’ (berlaku baik) digunakan dalam kaitan hubungan antara sesama manusia. Dalam Ensiklopedia Hukum Islam, jilid 3 hal 740 dinyatakan, “Ishlah merupakan kewajiban umat Islam, baik secara personal maupun sosial. Penekanan ishlah ini lebih terfokus pada hubungan antara sesama umat manusia dalam rangka pemenuhan kewajiban kepada Allah SWT.”
Di dalam Al-Qur’an, Allah SWT menegaskan bahwa manusia diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Namun, kemuliaan manusia ternyata tidak terletak pada keindahan fisiknya. Kalau manusia dianggap mulia dengan sebab badannya yang besar, tentu akan lebih mulia binatang ternak seperti sapi, kerbau, unta, gajah dan sebagainya yang memiliki berat badan jauh lebih berat. Karenanya bila manusia hanya mengandalkan kehebatan dan keagungan dirinya pada berat badan, maka dia bisa lebih rendah kedudukannya daripada binatang ternak yang kemuliaannya terletak pada berat badannya. Allah SWT berfirman:
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS 7: 179).

Oleh karena itu, kemuliaan manusia bisa kita pahami dari iman dan amal shaleh atau kebaikannya dalam bersikap dan bertingkah laku, di manapun dia berada dan dalam keadaan bagaimanapun situasi dan kondisinya. Itu sebabnya, semakin banyak perbuatan baik yang dilakukannya, maka akan semakin mulia harkat dan martabatnya di hadapan Allah SWT. Di sinilah letak pentingnya bagi kita untuk berlomba-lomba dalam kebaikan sebagaimana firman Allah:
“Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS 2: 148).

Jalan Menuju Amal Baik
Meskipun kebaikan kita sadari sebagai sesuatu yang harus kita laksanakan, ternyata hanya sedikit orang yang antusias untuk melakukan kebaikan itu. Karena itu, ada beberapa hal yang bisa dijadikan resep bagi seseorang agar bersemangat melakukan kebaikan.
Niat Yang Ikhlas
Niat yang ikhlas merupakan faktor penting dalam setiap amal. Karena di dalam Islam, niat yang ikhlas merupakan rukun amal yang pertama dan terpenting. Niat yang ikhlas karena Allah dalam melakukan kebaikan akan membuat seseorang memiliki perasaan yang ringan dalam mengerjakan amal-amal yang berat sekalipun, apalagi bila amal kebaikan itu tergolong amal yang ringan. Sedangkan tanpa keikhlasan, jangankan amal yang berat, amal yang ringan pun akan terasa berat. Di samping itu, keikhlasan akan membuat seseorang berkesinambungan (‘istimrar’) dalam melakukan amal kebaikan. Orang yang ikhlas tidak akan bertambah semangat hanya karena dipuji dan tidak akan melemah karena dicela. Adanya pujian atau celaan tidak akan mempengaruhi semangatnya dalam melakukan kebaikan.
Cinta Kebaikan Dan Orang Baik.
Seseorang akan antusias melaksanakan kebaikan manakala pada dirinya terdapat rasa cinta pada kebaikan. Karena mana mungkin seseorang melakukan suatu kebaikan apabila dia sendiri tidak suka pada kebaikan itu. Oleh karena itu, rasa cinta pada kebaikan harus kita tanamkan ke dalam jiwa kita masing-masing sehingga kita menjadikan setiap bentuk kebaikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan kita. Sehingga kebaikan akan selalu menyertai kehidupan ini.
Di samping cinta kepada kebaikan, agar kita suka melakukan kebaikan, harus tertanam juga di dalam jiwa kita rasa cinta kepada siapa saja yang berbuat baik. Hal ini akan membuat kita ingin selalu meneladani dan mengikuti segala bentuk kebaikan, siapa pun yang melakukannya. Allah SWT telah menyebutkan kecintaan-Nya kepada siapa saja yang berbuat baik, karenanya kita pun harus mencintai mereka yang berbuat baik, Allah berfirman:
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (QS 2: 195).

Merasa Beruntung Bila Melakukan
Berbuat baik merupakan sesuatu yang sangat mulia dan seseorang akan bersemangat melakukan kebaikan apabila dengan kebaikan itu dia merasa yakin memperoleh keberuntungan, baik di dunia maupun di akhirat. Ada banyak keuntungan yang akan diperoleh manusia bila ia berbuat baik.
Pertama, selalu disertai oleh Allah SWT, lihat QS 16: 128.
Kedua, menambah kenikmatan untuknya, lihat QS 2: 58, 7: 161, 33: 29.
Ketiga, dicintai Allah, lihat QS 7: 161, 5: 13, 2: 236, 3: 134, 3: 148, 5: 96.
Keempat, memperoleh rahmat Allah, lihat QS 7: 56.
Kelima, memperoleh pahala yang tidak disia-siakan Allah SWT, lihat QS 9: 120, 11: 115, 12: 56.
Keenam, dimasukkan ke dalam surga, lihat QS 5: 85, 39: 34, 6: 84, 12: 22, 28: 14, 37: 80.
Merasa Rugi Bila Meninggalkan
Apabila seseorang merasa beruntung dengan kebaikan yang dilakukannya karena sejumlah keutamaan yang disebutkan dalam Al-Qur’an, maka bila seseorang tidak berbuat baik dia akan merasa sangat rugi, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak. Bagi seorang mukmin, bagaimana mungkin dia tidak merasa rugi bila tidak melakukan kebaikan, karena kehidupan ini memang harus dijalani untuk mengabdi kepada Allah SWT yang merupakan puncak dari segala bentuk kebaikan yang harus dijalani.
Manakala di dunia ini seseorang sudah merasa rugi, maka di akhirat pun dia akan merasa rugi, karena apa yang dilakukan seseorang dalam kehidupannya di dunia akan sangat berpengaruh pada kehidupannya di akhirat, karena kehidupan akhirat pada hakikatnya adalah hasil dari kehidupan di dunia. Bila seseorang berlaku baik di dunia, dia akan memperoleh keberuntungan di akhirat di samping keberuntungan di dunia, sedangkan bila seseorang tidak melakukan kebaikan di dunia, maka dia akan memperoleh kerugian di dunia dan penyesalan yang sangat dalam di akhirat kelak sebagai akibat dari pengabaian nilai-nilai Islam, Allah SWT berfirman yang artinya, “Barang siapa mencari selain Islam sebagai agamanya, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.”
Meneladani Generasi Yang Baik
Perbuatan baik dan yang lebih baik lagi akan dilakukan oleh seorang muslim apabila dia mau meneladani orang yang berbuat baik. Hal ini menjadi penting karena dengan demikian dia menyadari bahwa meskipun ia merasa sudah banyak perbuatan baik yang dilakukannya, tetap saja dia merasa masih sedikit dibanding orang lain yang jauh lebih baik dari dirinya. Sehingga akan memicu semangatnya untuk berbuat baik yang lebih banyak lagi. Karena itu, idealnya seorang mukmin bisa menjadi seperti cermin bagi mukmin lainnya sehingga manakala seseorang mengenal dan memperhatikan dirinya secara seksama akan terasa begitu banyak kekurangan, termasuk dalam hal berbuat baik.
Memahami Ilmu Kebaikan
Bagi seorang muslim, setiap amal yang dilakukannya tentu harus didasari pada ilmu, semakin banyak ilmu yang dimiliki, dipahami dan dikuasai, maka insya Allah akan makin banyak amal yang bisa dilakukannya. Sedangkan semakin sedikit pemahaman atau ilmu seseorang, akan semakin sedikit juga amal yang bisa dilakukannya. Apalagi orang yang mempunyai ilmu belum tentu secara otomatis bisa mengamalkannya. Ini berarti, seseorang akan semakin terangsang untuk melakukan kebaikan manakala dia memahami ilmu tentang kebaikan itu.
Kebaikan Yang Diterima
Setiap kebaikan yang dilakukan seseorang tentu harus menghasilkan penilaian yang positif dari Allah SWT. Paling tidak, ada dua kriteria tentang kebaikan yang diterima oleh Allah SWT.
Pertama, ikhlas dalam beramal, yakni melakukan suatu amal dengan niat semata-mata karena Allah SWT, atau tidak riya dalam arti mengharap pujian dari selain Allah SWT. Karena itu, dalam hadits yang terkenal, Rasulullah Saw bersabda yang artinya, “Sesungguhnya amal itu sangat tergantung pada niatnya.”
Kedua, melakukan kebaikan itu secara benar, karena meskipun niat seseorang sudah baik, bila ia melakukan amal dengan cara yang tidak benar, maka hal itu tetap tidak bisa diterima oleh Allah SWT. Sebab hal itu termasuk bagian dari mencari selain Islam sebagai agama, yang jelas-jelas akan ditolak Allah SWT sebagaimana yang sudah disebutkan pada QS 3: 85 di atas.
Akhirnya, menjadi jelas bagi kita bahwa hidup ini harus kita jalani semata-mata untuk mengabdi kepada Allah SWT (QS 51: 56) yang salah satunya terwujud dalam bentuk melakukan kebaikan. Dan masing-masing orang harus berusaha melakukan kebaikan sebanyak mungkin sebagai perwujudan kehidupan yang baik di dunia dan ini pula yang akan menjadi bekal bagi manusia dalam menjalani kehidupannya di akhirat kelak.

Wallahu a’lam



Berlomba-lomba dalam Kebaikan

Dikisahkan, bahwa orang-orang fakir dari kalangan Muhajirin (sebagian kecil dari Anshar) merasa tidak bisa memperbanyak amal kebaikan, karena mereka tidak memiliki harta untuk diinfakkan. Padahal mereka selalu mendengar berbagai ayat dan hadits yang mendorong untuk berinfak, memuji orang-orang yang berinfak dan menjanjikannya surga yang luanya seluas langit dan bumi.
Di satu sisi, mereka melihat saudara-saudara mereka yang kaya berlomba-lomba untuk berinfak. Ada yang menginfakkan seluruh hartanya dan ada yang menginfakkan separuhnya. Ada yang memberikan beribu-ribu dinar dan ada juga yang membawa tumpukan hartanya kepada Rasulullah lalu beliau mendoakannya, memintakan ampunan dan keridlaan dari Allah untuk mereka.
Fenomena tersebut menggugah jiwa para sahabat yang miskin. Mereka berharap bisa mendapatkan kelebihan dan keutamaan sebagaimana yang diperoleh saudara-saudara mereka. Bukan karena dengki dengan kekayaan yang dimiliki saudaranya, dan bukan semata-mata menginginkan kekayaan. Tetapi didorong oleh rasa ingin berlomba-lomba dalam kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah.
Mereka lalu berkumpul dan datang menemui Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam. Dengan air mata berlinang, mereka mengadukan kondisi yang dialami lantaran tidak ada sesuatu yang bisa diinfakkan. Mereka berkata, “Ya Rasulullah, orang kaya telah mendapatkan pahala yang banyak, sedangkan kami tidak. Mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami puasa. Tidak ada kelebihan sama sekali dalam hal ini. Akan tetapi, mereka lebih dari kami karena mereka bisa berinfak dengan kelebihan hartanya, sedangkan kami tidak memiliki apapun untuk kami infakkan untuk menyusul mereka. Padahal, kami benar-benar ingin bisa mencapai kedudukan mereka. Apa yang perlu kami perbuat?”
Kemudian Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam yang memahami keinginan mereka yang begitu kuat untuk mencapai derajat yang tertinggi di sisi Rabb-nya, dengan sangat bijak memberikan jawaban yang menenangkan. Yaitu dengan memberitahukan bahwa pintu kebaikan sangat luas. Ada beberapa amalan yang menyamai pahala orang yang berinfak, bahkan bisa melebihnya. Beliau bersabda,
أَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُونَ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةً وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرًا
Bukankah Allah telah menjadikan untuk kalian apa-apa yang bisa kalian sedekahkan?; Sesungguhnya setiap tasbih (subhanallah) adalah sedekah, setiap takbir (Allahu akbar) adalah sedekah, setiap tahmid (Alhamdulillah) adalah sedekah, setiap tahlil (Laa Ilaaha Illallah) adalah sedekah, menyeru kepada kebaikan adalah sedekah, mencegah dari yang munkar adalah sedekah, dan bersetubuh dengan istri juga sedekah.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah jika di antara kami menyalurkan hasrat biologisnya (kepada istrinya) juga mendapat pahala?” Beliau menjawab, “Bukankah jika ia menyalurkannya pada yang haram akan mendapat dosa? Maka demikian pula jika ia menyalurkannya pada tempat yang halal, ia akan mendapat pahala.” (HR. Muslim)
Ketika orang-orang kaya  dari sahabat Nabi mendengar keutamaan dzikir di atas lantas mereka ikut pula mengamalkannya. Karenanya, orang-orang fakir di atas datang kembali menemui Rasulullah untuk kedua kalinya. Mereka berkata, “Ya Rasulullah, teman-teman kami yang kaya mendengar nasihatmu. Lalu mereka melakukan seperti yang kami lakukan.” Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam menjawab,
ذَلِكَ فَضْلُ اللهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ
Itulah karunia Allah yang diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya . . “ (QS. Al-Maidah: 54)
Subhanallah, begitu luar biasa keadaan para sahabat Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam, maka pantaslah jika Allah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya dan memberikan jaminan keridlaan dan kedudukan mulia di sisi-Nya. Mereka adalah orang sangat kuat semangatnya dan sangat besar keinginannya untuk beramal shalih dan mengerjakan kebaikan. Karenanya, jika ada kebaikan yang tidak bisa mereka kerjakan maka mereka bersedih. Terlebih bila saudara mereka yang lain mampu mengerjakannya. Sebagaimana kesedihan para fakir mereka yang tidak bisa bersedekah dengan harta dan tertinggal dari ikut jihad karena kemiskinan mereka.
وَلَا عَلَى الَّذِينَ إِذَا مَا أَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ لَا أَجِدُ مَا أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ تَوَلَّوْا وَأَعْيُنُهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ حَزَنًا أَلَّا يَجِدُوا مَا يُنْفِقُونَ
Dan tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: "Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu", lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan.” (QS. Al-Taubah: 92)
Sesungguhnya bersaing dan berlomba-lomba untuk mendapatkan kebaikan dan melakukan amal shalih adalah diperintahkan. Karena itu, hendaknya setiap muslim di zaman ini meniru para pendahulu mereka untuk selalu berlomba-lomba guna mendapatkan kebaikan dan untuk beramal shalih. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آَتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ
Tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.” (QS. Al-Maidah: 48)
Ayat serupa yang memerintahkan agar bersegera dan berlomba-lomba dalam kebaikan dan beramal shalih sangat banyak. Dan siapa, di dunianya, lebih dahulu dalam kebaikan maka di akhriatpun akan menjadi orang yang lebih dahulu masuk surga. Dan orang-orang yang lebih dahulu dalam amal ketaatan akan memiliki kedudukan yang lebih tinggi.
Pada ringkasnya bahwa dalam amal ketaatan, kebaikan dan ibadah harus saling berlomba untuk menjadi terbaik dan mendapatkan pahala terbesar. Tidak ada itsar (mendahulukan yang lain) dalam hal itu. Itsar hanya berlaku dalam urusan duniawi. Wallahu a’lam bil-shawab . .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar